Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal Buku : 270 halaman
Sinopsis :
Gadis Pantai merupakan karya sastra yang tidak selesai (unfinished story). Karya ini merupakan trilogi dari karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Dua buku lanjutan Gadis Pantai telah hilang di bawah kekerasan kekuasaan Angkatan Darat. Karya sastra Gadis Pantai ini juga mungkin akan pernah ada jika pihak Universitas Nasional Australia (ANU) di Canberra tidak mendokumentasikannya melalui tesis seorang mahasiswi, Savitri P. Scherer, mengenai proses kepengarangan Parmoedya di tengah gejolak budaya dan kekuasaan. Mahasiswi tersebut mengirim kembali karya sastra tersebut kepada pengarangnya, yaitu Pramoeda Ananta Toer.
Gadis Pantai merupakan kisah seorang anak gadis yang lahir dan tumbuh di sebuah kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang, yang kemudian dalam karya satra ini gadis tersebut dinamai Gadis Pantai. Suatu hari pada awal abad duapuluh ketika Gadis Pantai berusia empatbelas tahun, seorang utusan seorang pembesar di keresidenan Jepara Rembang mendatangi tempat kediaman orangtua Gadis Pantai. Dalam waktu hanya beberapa hari saja, utusan tersebut membawa Gadis Pantai, kedua orangtuanya, beserta kepala kampung mereka ke rumah penguasa tersebut. Sejak saat itu Gadis Pantai harus meninggalkan semua yang dikenalnya, dapurnya, suasana kampungnya sendiri dengan bau amis abadinya, jala yang setiap minggu diperbaikinya, layar tua yang tergantung di dapur, dan juga bau laut tanahairnya.
Gadis pantai telah dinikahkan dengan seorang penguasa wilayah setempat yang pada masa itu setiap penguasa residen disebut dengan Bendoro. Tidak seperti pada umumnya pernikahan, Gadis Pantai ketika dinikahkan tidak berhadapan langsung dengan calon suaminya sendiri, melainkan dengan sebilah keris. Sehari setlah menikah, Gadis Pantai akan dibawa ke kota, tempat kediaman Bendoro, penguasa yang telah dinikahinya yang tidak belum pernah dilihatnya seumur hidupnya.
Berbalutkan kain dan kebaya yang tidak pernah dimimpikannya akan ia miliki, seuntai kalung emas tipis dengan gandulan berbentuk jantung yang menghiasi lehernya, dan bedak tebal pada wajahnya, Gadis Pantai berangkat ke kota dengan hati yang gundah dan takut harus pergi meninggalkan semua yang dikenalnya menuju tempat dan sosok yang sama sekali asing. Dua kendaraan berupa delman menjadi alat transportasinya. Ibu, ayah, dan kepala kampung ikut serta.
Setibanya mereka di kediaman Bendoro, hanya kepala kampung yang diijinkan menghadap Bendoro, sedangkan ayah kandungnya sendiri tidak diikutsertakan dalam pembicaraan. Ayah Gadis Pantai dipersilahkan kembali ke kampung pantai setelah mereka menginap semalam dan ibunya menyusul kemudian hanya hitungan beberapa minggu saja. Sejak tiba di kediaman Bendoro yang sangat luas dan terdiri dari beberapa ruang yang luas dengan lorong-lorong yang panjang, Gadis Pantai dilayani seorang bujang wanita paruh baya. Dari bujang paruh baya inilah Gadis Pantai belajar bagaimana bersikap di kediaman tersebut, bagaimana melayani Bendoro, ruangan-ruangan apa saja yang ada rumah besar itu, serta siapa sejumlah anak laki-laki yang sering dilihatnya.
Pada masa itu, seorang bendoro biasa memiliki istri seperti Gadis Pantai, yaitu gadis-gadis yang di bawah derajat ataupun kedudukannya untuk melatih dirinya sendiri menjadi seorang laki-laki atau suami kelak ketika akan menikah dengan wanita yang berasal dari kalangannya sendiri yang sederajat. Gadis-gadis seperti Gadis Pantai hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan biologis para bendoro, yang selanjutnya disebut sebagai Mas Nganten. Ketika seorang Mas Nganten melahirkan seorang bayi, tugas mereka telah selesai. Ia akan diusir dari keresidenan dan bukan lagi sebagai Mas Nganten ataupun istri bendoro. Kalaupun wanita tersebut menjadi bujang di rumah tersebut, wanita itu tetap harus melayani anak mereka sendiri sebagai bendoro kecil. Bayi tersebut akan dibesarkan sebagai anak bendoro sendiri dan akan dididik dan belajar mengaji.
Kegiatan Gadis Pantai di dalam residen tersebut sangat terbatas dan sunyi, ia bekerja hanya untuk melayani dan taat kepada Bendoro. Bujang wanita paruh baya yang sering melayaninya melatih Gadis Pantai untuk siap menerima dan dipakai Bendoro, diajarkannya Gadis Pantai bagaimana bersikap, apa saja yang tidak boleh atau harus diucapkan untuk menyenangkan hati Bendoro. Sosok Bendoro yang halus dan lembut membuat Gadis Pantai menjadi menerima keberadaannya sebagai Mas Nganten Bendoro. Namun keberadaan Bendoro yang sangat jarang membuat Gadis Pantai merasa merindukan Bendoro, suaminya. Pengetahuan yang didapatnya dari bujangnya, membuat Gadis Pantai merasakan cemburu jika ternyata keberadaan Bendoro di kamarnya yang jarang atau Bendoro yang sering keluar residen untuk menemui Mas Nganten-Mas Nganten yang lain ataupun Bendoronya mempunyai Mas Nganten yang baru.
Suatu peristiwa membuat bujang paruh baya Gadis Pantai diusir dari istana residen dan sebagai gantinya Gadis Pantai dilayani seorang bujang yang masih muda bernama Mardinah. Ketika Gadis Pantai mendapat ijin dari Bendoro untuk mengunjungi orangtuanya di kampung pantai, Bendoro memerintahkan Mardinah sebagai pengiringnya ke kampung halaman. Di kampung pantai, Gadis Pantai mengetahui ternyata Mardinah merupakan utusan seorang bendoro lain untuk membunuh Gadis Pantai, agar Bendoro melupakan Gadis Pantai dan segera memperistri putrinya dan sebagai imbalan akan menjadikan Mardinah sebagai istri kelimanya. Mardinah pun dihukum karena usaha percobaan pembunuhan terhadap Gadis Pantai.
Di usia perkawinannya dengan Bendoro yang ketiga, Gadis Pantai hamil. Ayah Gadis Pantai yang akhirnya mengetahui kedudukan putrinya sebagai Mas Nganten yang ternyata hanya sebagai seorang istri percobaan saja, merasa menyesal dan iba terhadap putrinya. Ketika ayahnya mendatanginya ke kota beberapa bulan setelah kelahiran cucunya, Bendoro menceraikan Gadis Pantai. Bendoro memberikan Gadis Pantai uang pesangon dan memberikan ayahnya uang ganti rugi dan mengusir mereka berdua. Sembilan bulan masa mengandung putrinya, Gadis Pantai merasa sangat sedih harus meninggalkan putrinya yang masih bayi. Ia pun memohon kepada Bendoro untuk dapat membawa serta putrinya karena Bendoro sendiri sudah memiliki banyak anak. Tetapi yang didapat Gadis Pantai adalah pemukulan dan pengusiran secara kasar dari Bendoro.
Dalam perjalanan menuju kampung pantai, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak kembali ke kampung halamannya karena perasaan malu terhadap orang-orang kampung. Gadis Pantai memutuskan untuk kembali ke kota sebentar dan pergi ke Blora mencari bekas bujang wanitanya yang paruh baya yang dulu diusir oleh Bendoro.